Risiko Investor Milenial di Bisnis Kuliner (Bagian 2)


Happy Friday-Jika pekan lalu kita sudah membahas apa saja 3 hal dasar dari Pola Pikir fundamental seorang Investor, maka pagi ini sembari di temani Teh Vanilla Bourbon TWG kita lanjutkan membedah tentang Investor Milenial.


Millennial Kill Everything

Ada buku bagus berbasis riset yang ditulis teman 1 group WA saya, Mas Siwo (Yuswohady), "Millennial Kill Everything" yang fenomenal.

Fenomenal karena melihat perubahan perilaku konsumen kekinian.

Di awali dari terdistrupsinya bisnis atau model bisnis konvensional hingga 'manusia' nya ikut terdistrupsi.

Ada yang memang harus menyerah terhadap pasar, minimal dari market share 70-80%, hari ini tinggal 10-20%.

Tetapi ada juga yang akhirnya menyadari dan mau BERUBAH dan berkolaborasi dengan pemain yang mendistrupsinya.

Walau pasarnya sudah tergerus, tetapi market sharenya masih di antara 50-60%.

Risiko Investor Milenial di Bisnis Kuliner 2
Jika dahulu banyak pengamat dan pakar mengatakan, biang keladi terdistrupsinya sebuah industri adalah teknologi, maka muncul istilah teknologi Digital Disruption.

Digital Disruption ini mematikan pemain lama dengan cara menciptakan model bisnis baru yang menyebabkan model bisnis lama menjadi tidak relevan lagi.

Seiring berjalannya waktu, muncul istilah Millennial Disruption.

Millennial Disruption ini mematikan pemain lama melalui terbentuknya nilai-nilai, perilaku, dan preferensi milenial yang baru, yang menyebabkan value proposition lama menjadi tidak relevan lagi.

Beberapa Industri baik teknologi atau perilaku orangnya yang berubah antara lain : Olahraga golf, Agen perjalanan, Kamera digital, Long-time employment, Tata cara baju formal di kantor, Musik rock, Sepatu high heels, Harley Davidson, Eye contact dan lainnya.

Milenial ini adalah lazy generation alias generasi termalas dalam sejarah umat manusia karena dimanjakan oleh beragam apps yang memudahkan kehidupan mereka, termasuk dalam hal memesan makanan melalui online delivery.

Mereka adalah generasi yang convenience-seeker.

Mencari kenyamanan dan akhirnya Mager (Malas Gerak).
Sangat tergantung sekali dengan teknologi bernama smartphone.

Karena itu, kepemilikan aset guna pakainya, seperti motor, mobil, rumah dan benda-benda berwujud lain menjadi nihil.

Di satu sisi, jika melihat jangka pendek bisa jadi ada benarnya juga, tetapi jika melihat secara jangka panjang, ini adalah hal yang berbahaya.

Harusnya, minimal selain punya aset lancar dalam bentuk uang digital atau dompet digital, mereka juga harus ada simpanan uang tunai atau aset lancar lainnya di reksadana atau emas digital, syukur-syukur ada emas LM (Logam Mulia) fisiknya.

Konsep sharing economy atau Ekonomi Berbagi ini, seharusnya dilanjutkan oleh Generasi Milenial dengan juga punya aset investasi secara sharing (berjama'ah).

Jadi, walau uang keluarnya tidak secepat uang masuknya, mereka ada 'pegangan' arus kas atau pertambahan kenaikan modal dari aset investasinya.


Sharing Investment

Eranya sharing (berbagi) itu bukan saja dalam hal aset guna pakai saja seperti kendaraan mobil atau motor, tetapi juga dalam hal investasi alias partnership atau kemitraan.

Ibarat pepatah, berat sama dipikul, ringan sama di jinjing, duduk sambil ngopi.

Dalam bahasa investasi di sebut Profit Loss Sharing (bagi untung bagi rugi).

Apa maknanya?

Agar besar, yang kecil berpartner agar besar.

Agar kuat, yang lemah berpartner agar kuat.

Agar banyak, yang sedikit berpartner agar banyak.

Agar bisa, yang tidak bisa berbisnis dan berinvestasi berpartner agar bisa punya bisnis dan berinvestasi.

Jika ini diterapkan, tidak ada lagi orang akan 'menyimpan' uang di bank, tetapi akan berinvestasi di sektor riil dan menggerakkan ekonomi bangsa karena terciptanya lapangan kerja baru.

Jika 1 bisnis potensial bisa menghadirkan 10-20 tenaga kerja, maka jika secara berjama'ah akan membuat pertumbuhan ekonomi kita meroket.

Karena apa, mereka yang jadi investor juga menjadi konsumen dari produk atau jasa investasinya.

Uang bergerak di antara sesama anak bangsa.

Pun begitu, tetap kembali risiko investasi harus tetap diperhatikan.


Investor Kuliner Ritel

Gajah limusine itu jika kita makan sekali hadap tentu tidak bisa, tetapi jika tiap hari kita makan daging gajah limusine hingga setahun tentu akan habis juga, begitu analoginya.

Begitu juga dalam berinvestasi.

Misalnya, sebuah Kuliner Sea Food (olahan laut) membutuhkan dana Rp 1,2 miliar agar bisa running.

Jika kita tanya ke Generasi Millenial yang malas gerak tadi, tentu mereka tidak punya uangnya buat berinvestasi.

Tetapi jika kita tanya ke Milenial Kaya Mark Elliot Zuckerberg, tentu uang tersebut pasti kecil.

Tetapi jika kita bagi ke-24 orang investor, masing-masing urunan Rp 50 juta, tentu bisa.

Bisa dilaksanakan ide tersebut.

Apalagi jika kita bagi ke-240 orang investor, masing-masing urunan Rp 5 juta akan banyak yang akan berbahagia.

Itu jika modalnya Rp 1,2 miliar, bagaimana jika modalnya hanya Rp 400 juta.

Maka cukup 80 orang saja untuk membiayai usaha tersebut.

Belum lagi jika 1 orang ada yang berani untuk Urun Modal sebesar Rp 200 juta, artinya cukup 40 orang yang urunan sisanya.

Inilah yang saya sebut The Beauty of Sharing in business & investment (keindahan berbagi dalam bisnis dan investasi).

Akhirnya, konsep gotong royong, pemberdayaan, berjama'ah, dan bagi hasil kembali menjadi filosofi bangsa ini yang sudah menjadi karakter dan nilai dasar bangsa Indonesia, menjadi tuan rumah di negeri sendiri.

Wallahu'alam bisshowab....


Hari 'Soul' Putra
Managing Director WealthFlow 19 Technology
www.P3KCheckUp.com
Founder IBC/Indonesian Business Community
Motivator Keuangan
 

 
#RisikoInvestorMilenialDiBisnisKulinerBagian2
#MotivatorKeuangan
#SpiritualFinance
#KetenanganKeuangan
#MotivasiKeuangan
#TerapiKeuangan
#TerapiCashFlow
#MengaturPendapatan
#HariSoulPutra
#ManajemenKeuangan